“Gak apa-apa, satu hari sekali aja.”
-Dev
“Gak apa-apa, satu hari sekali aja.”
-Dev
Judul: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: 2018
Halaman: 344 halaman
Kategori: Non Fiksi, Filsafat, Pengembangan Diri

Sinopsis
Di zaman sekarang, hidup terasa semakin cepat. Tanpa
sadar, saya sering terjebak dalam tekanan sosial, ekspektasi, dan overthinking
yang seolah tidak ada habisnya. Saya terlalu sering memikirkan hal-hal yang
sebenarnya berada di luar kendali mulai dari pendapat orang lain, hasil usaha
yang belum tentu sesuai ekspektasi, hingga hal-hal kecil yang tidak seharusnya
saya pikirkan terlalu dalam.
Awalnya, saya tidak terlalu tertarik dengan Filosofi
Teras karena mengira ini hanya buku pengembangan diri biasa. Namun setelah
membacanya, saya justru menemukan bahwa filosofi yang dibahas di dalamnya bisa
menjadi pegangan hidup untuk menghadapi segala situasi dengan lebih tenang dan
rasional.
Filosofi Teras Itu Apa?
Buku ini memperkenalkan saya pada Stoisisme,
sebuah filosofi Yunani-Romawi kuno yang ternyata masih sangat relevan dengan
kehidupan modern. Henry Manampiring menyebutnya sebagai Filosofi Teras
karena konsep ini diibaratkan seperti “teras rumah” — dasar berpikir yang kuat
untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Inti ajaran Stoisisme adalah agar kita fokus pada
hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan tidak terlalu larut dalam hal-hal
yang berada di luar kendali kita.
Salah satu konsep yang paling berkesan bagi saya
adalah Dikotomi Kendali. Konsep ini mengajarkan kita untuk membedakan
mana yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak. Misalnya, saya tidak bisa
mengatur apa yang orang lain katakan tentang saya, tapi saya bisa mengontrol
bagaimana saya menanggapinya. Saya juga tidak bisa memastikan hasil dari kerja
keras saya, tapi saya bisa memastikan seberapa besar usaha yang saya lakukan.
Setelah memahami ini, saya jadi lebih santai dan tidak mudah stres menghadapi
hal-hal yang sebenarnya tidak bisa saya ubah.
Selain itu, buku ini juga mengenalkan konsep Premeditatio
Malorum, yaitu latihan mental dengan membayangkan kemungkinan terburuk yang
bisa terjadi. Awalnya saya mengira latihan ini akan membuat saya lebih pesimis,
tapi ternyata justru membuat saya lebih siap menghadapi kenyataan. Misalnya,
ketika saya sudah membayangkan kemungkinan gagal sebelum presentasi, saya tidak
akan terlalu panik jika terjadi kesalahan kecil di tengah-tengahnya. Bukan
berarti saya mengharapkan hal buruk terjadi, tapi dengan persiapan mental, saya
bisa lebih tenang menghadapi situasi yang tidak sesuai harapan.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Menurut saya, kelebihan utama buku ini adalah gaya
bahasanya yang ringan dan mudah dipahami. Henry Manampiring menulis dengan
cara yang sangat relate dengan kehidupan sehari-hari, sehingga saya bisa
langsung nyambung dengan contoh-contoh yang ia berikan mulai dari overthinking
karena media sosial, kecemasan soal masa depan, hingga cara menghadapi
kegagalan.
Namun, bagi pembaca yang ingin mendalami Stoisisme
dari sisi akademik atau filosofis, mungkin akan merasa buku ini sedikit terlalu
sederhana. Filosofi Teras lebih menekankan pada penerapan praktis
daripada pembahasan mendalam mengenai sejarah atau teori Stoisisme.
Kesimpulan: Worth It Dibaca Nggak?
Bagi saya pribadi, Filosofi Teras adalah salah
satu buku yang berhasil mengubah cara pandang saya terhadap hidup. Setelah
membacanya, saya jadi lebih sadar bahwa selama ini saya sering menghabiskan
waktu dan energi untuk hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan. Saya belajar
untuk lebih fokus pada diri sendiri, tidak mudah tersulut emosi, dan lebih
menerima apa pun yang terjadi di luar kendali saya.
Jadi, kalau kamu sering merasa overthinking, gampang
stres, atau terlalu peduli dengan pendapat orang lain, buku ini wajib banget
dibaca. Ini bukan sekadar buku pengembangan diri, tapi sebuah panduan
berpikir yang bisa membuat hidup lebih tenang, rasional, dan terarah.
Worth it? Menurut saya, banget.
Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Kategori: Fiksi, Sejarah, Sosial
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: 2017
Jumlah Halaman: 379

Sinopsis
Laut Bercerita
mengisahkan perjuangan para aktivis mahasiswa pada era Orde Baru yang berani
menyuarakan kebenaran di tengah represi pemerintah. Tokoh utamanya, Biru
Laut, adalah seorang mahasiswa yang tergabung dalam kelompok aktivis
pro-demokrasi. Bersama rekan-rekannya, ia berjuang melawan ketidakadilan dan
harus menghadapi ancaman penculikan, penyiksaan, hingga ketidakpastian nasib
akibat keberaniannya.
Cerita dalam novel ini terbagi menjadi dua sudut
pandang. Bagian pertama disampaikan melalui perspektif Biru Laut, yang
menggambarkan perjuangan, semangat, dan ketakutan para aktivis saat menentang
kekuasaan. Bagian kedua menceritakan sisi emosional dari keluarga dan sahabat
yang kehilangan mereka, terutama Asmara Jati, adik Biru Laut, yang terus
berusaha mencari kebenaran di balik hilangnya sang kakak.
Melalui novel ini, pembaca diajak memahami betapa
besar harga yang harus dibayar demi sebuah perubahan. Meski berwujud fiksi,
kisah yang ditampilkan sangat dekat dengan kenyataan sejarah Indonesia,
khususnya tentang hilangnya para aktivis di masa itu.
Kelebihan Buku
Kekurangan Buku
Kesimpulan
Bagi saya, Laut Bercerita adalah novel yang
sangat berkesan. Ceritanya tidak hanya menyentuh, tetapi juga membuka mata
tentang sejarah kelam Indonesia dan perjuangan para aktivis yang berani melawan
ketidakadilan. Saat membaca bagian dari sudut pandang Biru Laut, saya seolah
ikut merasakan ketegangan, ketakutan, dan semangat perjuangan yang ia alami.
Sedangkan dari sudut pandang keluarga, terutama Asmara Jati, pembaca diajak
merasakan kehilangan yang begitu dalam dan menyakitkan.
Buku ini menyadarkan saya bahwa kebebasan yang kita
nikmati hari ini tidak datang begitu saja, melainkan melalui perjuangan panjang
dan penuh pengorbanan. Laut Bercerita bukan sekadar novel, tetapi sebuah
pengingat akan suara-suara yang pernah dibungkam dan kisah-kisah yang harus
terus diceritakan.
Bagi siapa pun yang ingin memahami lebih dalam tentang
sejarah Indonesia dan sisi kemanusiaan di balik perjuangan mahasiswa masa lalu,
Laut Bercerita adalah bacaan yang sangat saya rekomendasikan.
Judul: Hujan
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2016
Kategori: Fiksi, Romansa

Ulasan Buku
Saya baru saja selesai membaca Hujan, dan
jujur, buku ini benar-benar menguras emosi. Ceritanya tentang Lail dan Esok,
dua tokoh yang hidup di dunia yang telah berubah akibat bencana besar. Mereka
sama-sama berjuang untuk bertahan hidup sambil menghadapi masa lalu yang tidak
mudah. Sepanjang cerita, saya diajak memahami bagaimana seseorang belajar
menerima kehilangan, bangkit dari kesedihan, dan menemukan arti kebahagiaan di
tengah dunia yang sudah tidak sama lagi.
Menurut saya, Hujan punya cerita yang dalam dan
penuh makna. Seperti karya Tere Liye lainnya, buku ini berhasil membuat pembaca
ikut merasakan emosi para tokohnya. Lail, dengan segala luka dan ketakutannya,
serta Esok yang penuh ambisi dan rasa tanggung jawab, berhasil menghadirkan
dinamika emosional yang kuat. Alurnya mengalir dengan tenang, meskipun di
beberapa bagian terasa sedikit lambat. Namun justru dari bagian-bagian itu,
saya bisa lebih memahami perjuangan dan pertumbuhan karakter mereka.
Hal yang paling saya sukai dari buku ini adalah pesan
moralnya. Kita diajak untuk menyadari bahwa kehilangan adalah bagian dari
kehidupan yang tidak bisa dihindari. Namun, yang paling penting bukanlah
seberapa dalam kita kehilangan, melainkan bagaimana kita bisa menerima dan
terus melangkah setelahnya. Banyak momen dalam buku ini yang membuat saya
terharu, terutama saat Lail merenungkan arti hidup, cinta, dan harapan.
Kesimpulan
Buku Hujan cocok untuk kamu yang menyukai kisah
dengan makna mendalam dan nuansa reflektif. Ceritanya tidak hanya menyentuh
hati, tapi juga memberikan pelajaran berharga tentang keberanian untuk
melepaskan dan berdamai dengan masa lalu.
Bagi saya pribadi, Hujan bukan sekadar novel
romantis biasa, tetapi sebuah pengingat bahwa hidup akan terus berjalan,
meskipun ada banyak hal yang harus kita lepaskan di sepanjang jalan. Kalau kamu
sedang mencari bacaan yang bisa membuatmu berpikir dan merenung, buku ini
benar-benar layak untuk kamu baca.
Seni Bersikap Bodo Amat
Judul: The Subtle Art of Not Giving a F*ck
Penulis: Mark Manson
Kategori: Pengembangan Diri, Psikologi
Penerbit: HarperOne
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 224

Dalam hidup, kita sering
dihadapkan pada berbagai pendapat, kritik, dan ekspektasi dari orang lain.
Sejak kecil, kita diajarkan untuk peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang
cara kita berbicara, berpakaian, hingga keputusan yang kita ambil. Tapi semakin
dewasa, saya sadar bahwa tidak semua hal perlu didengar, tidak semua komentar
harus diambil hati, dan tidak semua ekspektasi harus dipenuhi.
Bersikap bodo amat
bukan berarti cuek atau tidak peduli terhadap apa pun. Justru sebaliknya, ini
tentang memilih dengan bijak mana hal yang benar-benar penting untuk
diperhatikan dan mana yang sebaiknya dilepaskan. Saya juga pernah merasa cemas
dan lelah karena berusaha menyenangkan semua orang. Namun pada akhirnya, saya
sadar bahwa semakin keras kita mencoba memuaskan semua orang, semakin besar
kemungkinan kita kehilangan diri sendiri.
Mark Manson dalam buku
ini mengajarkan bahwa hidup tidak akan pernah bebas dari masalah, tapi kita
bisa memilih masalah mana yang layak diperjuangkan. Ia menekankan bahwa
menerima keterbatasan, kegagalan, dan rasa sakit adalah bagian penting dari
pertumbuhan. Hidup yang baik bukanlah hidup tanpa kesulitan, tapi hidup yang
dijalani dengan kesadaran bahwa kita hanya punya energi terbatas jadi
gunakanlah untuk hal-hal yang benar-benar berarti.
Buku ini tidak menawarkan
solusi ajaib untuk membuat hidup terasa lebih mudah, tapi justru mengajak kita
untuk lebih realistis dan berani menghadapi kenyataan. The Subtle Art of Not
Giving a Fck* memberi perspektif baru bahwa kebahagiaan sejati datang bukan
dari menghindari masalah, tapi dari memilih dengan sadar apa yang pantas
diperjuangkan.
Kesimpulan
Seni bersikap bodo
amat bukan berarti berhenti peduli, melainkan belajar menempatkan
kepedulian pada hal yang tepat. Tidak semua orang akan menyukai kita, dan
itu tidak apa-apa. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap setia pada diri
sendiri tanpa harus hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang lain.
Buku ini cocok untuk
siapa pun yang sering merasa terbebani oleh penilaian orang, takut gagal, atau
terlalu banyak berpikir tentang bagaimana tampil sempurna. Setelah membaca buku
ini, saya belajar bahwa menjadi bodo amat bukan berarti berhenti peduli tapi
justru cara paling sehat untuk mulai hidup dengan lebih tenang dan jujur pada
diri sendiri.